Tari topeng khas Cirebon merupakan salah satu seni tari topeng tertua di Indonesia, yang gerakannya disesuaikan dengan musik gamelan khas Cirebonan yang bersumber dari Kesultanan, yang sampai saat ini masih bertahan eksis di masyarakat. Setiap daerah memiliki kesenian rakyat tersendiri. Dan setiap kesenian tradisional akan melahirkan seorang maestro yang akan mengawal kelanjutan kesenian tradisional itu. Pada akhirnya, nama sang maestro itu akan melekat erat dengan kesenian yang dikawalnya. Ini seperti yang terjadi di kesenian Topeng Cirebon. Kesenian ini telah melahirkan seorang maestro, Seperti Sujana Arja dan Rasinah yang dikenal sebagai maestro Tari Topeng Cirebon.


Yang pertama ada Sujana Arja sang maestro dari Slangit. Sujana Arja lahir di Desa Slangit di kawasan Klangenan, Cirebon, Jawa Barat, dari seorang keluarga seniman. Ayah ibunya, Arja dan Wuryati adalah penari topeng legendaris di zamannya. Karena itu, Sujana dan delapan saudaranya yang lain terbiasa dengan ritmis dan tetabuhan dinamis tari topeng.
Sujana bersama delapan saudara kandungnya memang mendapat warisan bakat dari kedua orang tuanya. Tapi, setelah keenam saudaranya meninggal, tinggal Sujana dan adik bungsunya, Keni Arja yang masih setia mempertahankan Topeng Cirebon versi Slangit agar tak punah dari desanya. Kakak-beradik ini bukan hanya menunggu panggilan berpentas dan mengamen dari kampung ke kampung atau bebarang. Tapi, juga mereka menjadi duta kesenian yang mewakili Indonesia ke berbagai negara.

Sujana adalah seorang penari yang paham benar tentang makna filosofi dari topeng yang diperankannya. Tari Topeng Cirebon memiliki lima jenis yang masing masing menggambarkan tentang fase kehidupan manusia semasa hidupnya. Panji melambangkan kelahiran seorang manusia ke dunia. Samba melambangkan bayi yang telah beranjak dewasa. Rumyang melambangkan pernikahan yang ditujukan untuk menghasilkan keturunan yang baik. Tumenggung melambangkan kewajiban seseorang yang menikah untuk bekerja sebagai bekal bagi keluarga. Terakhir, Kelana adalah kontrol yang harus dimiliki orang itu agar tidak sombong dalam menghadapi hidup.
Di usia senjanya, Sujana memang masih meluangkan seluruh waktu, pikiran, dan tenaganya untuk tari topeng. Sesekali dirinya menerima undangan dari warga desa yang sedang mengadakan hajatan besar. Di saat saat itulah Sujana menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang penari topeng. Berbeda dibanding tahun 60-an ketika sepi undangan main, Sujana dan rombongannya memilih mengamen dari kampung ke kampung sambil membawa seperangkat alat gamelan.
Masa-masa sulit seolah tiada henti menimpa kesenian tradisional topeng. Beberapa kelompok tari topeng terpaksa bubar terlebih ketika dikaitkan dengan isu Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) di tahun 60-an. Namun, itu tak berlaku buat Sujana. Lantaran kecintaan pada tari topeng yang digeluti bertahun-tahun membuat Sujana mampu bertahan meski zaman terus berubah.
Bagi Sujana, satu-satunya kebahagiaan yang didapatkan adalah kedua putranya, Inu Kertapati dan Astori yang bisa melanjutkan usahanya mempertahankan kesenian tradisional ini. Bahkan, kedua putranya pun telah dikenal sebagai pengganti sang maestro untuk berpentas di berbagai tempat.
Sujana seperti tiada henti mencari harapan masa depan seni tradisi warisan nenek moyangnya. Makna spiritual tari topeng yang dulu hanya dimiliki keluarga-keluarga tertentu kini tak berlaku lagi pada diri Sujana. Baginya, gerakan gemulai tari yang dipertontonkannya setidaknya mampu menggugah minat generasi muda terhadap kesenian yang hampir punah di desanya. Tapi, semangat, keyakinan serta nilai-nilai yang diajarkan Sujana pada akhirnya berpulang kembali pada ketertarikan masyarakat sebagai penjaga terdepan kelangsungan hidup seni tradisional. Jika orang ingin menonton dan penari ingin menarikannya maka tarian itu akan hidup. Akan tetapi jika tidak maka tarian itu akan punah. Kisah hidup Sujana menghargai tradisi leluhurnya seperti tak pernah henti meski dimakan oleh usianya yang renta. Kesenian kuno ini dijalani seperti falsafah hidup yang dianutnya. Jika mati meninggalkan keharuman.



Maestro Tari Topeng yang kedua yang akan saya bahas adalah Mimi Rasinah. Mungkin banyak orang yang tahu nama Mimi Rasinah. Namun, bagi masyarakat Jawa Barat, namanya begitu melegenda di balik keberingasan dan kegemulaiannya di atas panggung, meskipun kini dirinya telah tiada.
Mimi Rasinah, begitulah ia kerap dipanggil. Mimi merupakan sebutan masyarakat Indramayu dan Cirebon untuk ibu, sedangkan sebutan untuk ayah adalah mama.
Dedikasinya pada tari topeng telah memberikan inspirasi bagi banyak kalangan. Bahkan kiprahnya pun juga didokumntasikan dalam film berjudul Rasinah: The Enchanted Mask yang berdurasi 54 menit dan disutradarai oleh Rhoda Graurer, asal Amerika Serikat.
Mimi Rasinah bertekad untuk terus membawakan tarian yang konon diciptakan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati sebagai media penyebaran agama islam di wilayah Cirebon, sampai akhir nyawanya. Tanpa keluh, Mimi Rasinah pun akah tetap menari meskipun fisiknya sedang sakit.Wanita kelahiran 3 Februari 1930 ini telah menggeluti tari topeng yang diajarkan ayahnya sejak usia lima tahun. Memiliki kedua orangtua yang merupakan penggiat seni, tak heran jika darah seniman mengalir dalam diri Mimi Rasinah.
Mimi Rasinah cilik bahkan sudah ikut mengamen tari topeng berkeliling bersama ayahnya. Kehidupan yang keras telah menempanya sejak kecil, seperti saat Jepang menyerbu Indramayu. Kelompok tari keliling milik ayahnya dibekukan, karena dianggap sebagai mata-mata oleh Jepang. Semua perangkat tari topengnya pun dimusnahkan. Hingga pada akhirnya, Lastra, ayah Mimi Rasinah, ditembak mati oleh Belanda, karena diangap sebagai intel berkedok tari topeng. Usia bukan menjadi penghalang bagi Mimi Rasinah untuk membuktikan kecintaannya pada tari topeng, yang membutuhkan energi prima untuk membawakannya. Namun, wanita yang telah lanjut usia itu masih tetap lincah dan gesit membawakan tari topeng. Alhasil, kedua penggiat tari tradisional Jawa Barat itu mendorong Mimi Rasinah untuk kembali ke jalurnya, menjadi seorang wanita yang berlenggak-lenggok di balik topeng.
Pentas demi pentas ia lakoni, aura magisnya pun terus terpancar di atas panggung. Kecintaan Mimi Rasinah pada belahan jiwanya ini juga ditunjukkan dengan mengajarkan tari topeng di sekolah-sekolah di Indramayu.
Namun, semesta seolah menginginkan Mimi Rasinah berhenti menari. Pada tahun 2006, legenda dari Jawa Barat ini terkena penyakit stroke yang. Meski begitu Mimi Rasinah tetap kukuh tidak mau berhenti menari sampai mati.
Keberadaan sanggar tari topengnya pun diwariskan pada cucunya, Aerli. Biar bagaimana pun Mimi Rasinah tetap tidak ingin menjadi penari yang cengeng dengan berhenti berkarya.
Wanita renta itu terus bergerilya melawan sakitnya. Dalam kondisi badan yang sebagian telah mati karena stroke, undangan menari di Bentara Budaya Jakarta kala itu pun tetap dilakoninya. Aura magis Mimi Rasinah tetap menghipnotis para penonton di atas panggung saat memeragakan Tari Panji Rogoh sukma.
Tak ada yang menduga jika tarian tersebut merupakan persembahan terakhirnya. Beberapa hari kemudian, pada 7 Agustus 2010, Mimi Rasinah dipanggil untuk menghadap Sang Pencipta. Meskipun raganya sudah tidak ada, kini nama Mimi Rasinah telah menjadi seorang legenda di balik topengnya.

Pict by : http://materitertulis.blogspot.com/2016/06/nih-pemeran-seni-tari-indonesia-bagong.html
https://indramayukab.go.id/tari-topeng/mimi-rasinah/


0 Komentar